Melalui sebuah tulisan
yang terdiri dari rangkaian kata - kata cerita kehidupan seseorang dicatat dan
menjadi sejarah di kemudian hari. Isi hati dan perasaan seorang insan manusia
juga dapat tersampaikan lewat tulisan yang disebut surat cinta. Begitu banyaknya
tulisan - tulisan yang ada di sekitar kita. Bahkan kemerdekaan bangsa Indonesia
juga tertuang melalui tulisan pada teks proklamasi kemerdekaan. Begitu hebatnya
makna sebuah tulisan.
Di sekolah - sekolah mulai tingkat SD, SMP, dan SMA diajarkan untuk nyurat aksara di lontar.
Lalu bagaimana kita sebagai generasi muda menyikapi hal ini ?
Dalam pelajaran sejarah
kita mengenal dua istilah yaitu zaman pra sejarah dan zaman sejarah. Zaman pra
sejarah disebut juga zaman pra aksara yaitu zaman dimana manusia tidak atau
belum mengenal tulisan, pra berarti belum atau tidak dan aksara berarti
huruf atau tulisan. Setiap bangsa di dunia mengalami masa praaksara yang
berbeda begitu juga hilangnya masa pra aksara tersebut. Kemudian berganti
menjadi zaman sejarah yang ditandai dengan manusia mulai mengenal tulisan.
Tulisan tersebut dapat berupa prasasti, tugu, lontar, kitab, dan lain -
lainnya. Dari tulisan - tulisan di zaman awal sejarah, kita dapat mengetahui
hal apa yang sudah terjadi karena dapat dibuktikan dengan nyata. Sedangkan pada
zaman pra aksara tidak ada bukti tulisan hanya berupa artefak.
Sama seperti perkembangan manusia dari zaman pra sejarah hingga zaman sejarah
saat ini, tulisan atau aksara yang kita ketahui hingga saat ini juga mengalami
evolusi. Disebut evolusi karena prosesnya berlangsung dalam waktu yang lama dan
saling terkait dengan sebelumnya. Penyebaran bentuk - bentuk aksara dari satu
daerah ke daerah lain juga mempengaruhi evolusi bentuk tulisan dari daerah -
daerah di dunia ini. Penyeberan tulisan ini dipengaruhi oleh aktivitas
perdagangan, pertukaran pelajar pada zaman kerajaan - kerajaan Hindu-Budha ke
India, aktivitas alih bahasa buku - buku pengetahuan asal India, dan prasasti
yang berasal dari India. Misalnya bentuk aksara Bali yaitu a kara yang berasal
dari huruf Dewanagari India. Ada pula, bentuk aksara Bali dan Jawa yang serupa
karena pengaruh kerajan - kerajaan Hindu-Budha dari daerah Jawa yang kemudian
pengaruhnya sampai ke Bali, selain itu jika diperhatikan bentuk aksara Bali
maupun aksara Jawa memiliki kemiripan dengan aksara di Thailand, walaupun memiliki
pengucapan yang berbeda tetapi memiliki bentuknya yang sama.
Berbeda dengan negara Thailand, Rusia, Jepang, dan Korea yang masih menggunakan
tulisan atau aksara tradisional mereka untuk tulisan fasilitas umum maupun
dalam kehidupan sehari - hari. Sebagai negara dengan ribuan suku-budaya yang
tersebar dari Sabang hingga Merauke, tentunya Indonesia memiliki banyak bentuk
aksara namun secara nasional menggunakan huruf latin seperti saat ini.
Penggunaan aksara tradisional di daerah seperti D.I Yogyakarta, Bali, dan
beberapa daerah lain, biasanya terdapat pada fasilitas umum seperti nama jalan,
nama kantor instansi pemerintahan, dan nama sekolah. Misalnya saja di
Bali, khususnya di Kota Denpasar kita dapat melihat penggunaan aksara Bali pada
papan nama jalan, nama - nama toko di kawasan Jalan Gajah Mada, dan nama Pura (
juga berlaku di seluruh Pura Bali).
Namun, di era globalisasi saat ini dengan kemajuan IPTEK, tidak hanya lewat
tulisan tetapi sejarah dapat diabadikan lewat foto, rekaman suara, dan video.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, kini kegiatan menulis secara
manual beralih dengan penggunaan gadget. Anak muda lebih suka menggunakan
gadget karena canggih, praktis, dan sesuai trend terkini. Kegiatan yang
terkesan rumit dan memerlukan waktu yang lama atau istilahnya kuno, begitu
kurang diminati. Seperti halnya nyurat aksara di lontar. Tidak begitu banyak
orang khususnya di Bali yang masih melakukan aktivitas ini. Tapi masih ada
orang yang menekuni aktivitas ini. Seperti penyedia jasa menyalin aksara latin
ke lontar yang dilakukan oleh Ketut Sutarmi. Ia menjadikan nyurat aksara
sebagai profesi yang dapat menambah penghasilan dan untuk menghidupi
keluarga.
Di sekolah - sekolah mulai tingkat SD, SMP, dan SMA diajarkan untuk nyurat aksara di lontar.
Tetapi
saya melihat, tidak begitu banyak anak muda yang meminati hal ini karena
tingkat kerumitannya. Akhirnya kegiatan belajar nyurat aksara di lontar hanya
bersifat formal di tingkat sekolah. Namun dalam proses belajar tak bisa dipaksakan.
Lalu apa gunanya belajar nyurat aksara di
lontar? Lagipula kini sudah ada software aksara Bali yang dapat digunakan untuk
mengetik aksara Bali berbasis komputer yang disebut Program Bali Simbar B dan
Dwijendra. Lebih canggih lagi ada hardware berupa keyboard Bali Tamiang, yang
membuat proses mengetik aksara Bali lebih mudah dan cepat. Makin mudahnya
perangkat menulis aksara Bali ini seharusnya dapat meningkatkan minat belajar
nyurat aksara. Tetapi apalah gunanya jika ada software dan hardware aksara
Bali, jika kita tidak tahu bentuk - bentuk aksara Bali. Maka, disinilah peran
pendidikan formal di sekolah - sekolah untuk mengenalkan bentuk - bentuk aksara
Bali.
Belajar nyurat aksara Bali di lontar
diperlukan kesabaran, ketelitian, dan konsentrasi yang tinggi. Karena jika
salah tidak dapat dihapus seperti nyurat aksara di kertas atau bahkan tidak
bisa dihapus seperti pada program Bali Simbar B dan Dwijendra. Dengan nyurat
aksara di lontar muncul keinginan untuk belajar lebih mendalam tentang sastra -
sastra Bali lainnya. Rasa dan jiwa seni juga dapat muncul, dalam nyurat aksara
di lontar diperlukan kerapian dan keindahan bentuk aksara.
Di Bali maupun di
Indonesia tersebar lontar - lontar sastra dan agama yang memuat ajaran - ajaran
agama, budi pekerti, silsilah tertentu, ilmu - ilmu khusus, dan tentang sejarah
kerajaan di nusantara. Jangankan membaca isi lontar tersebut, melihat bentuknya
pun sangat jarang. Karena memang tidak semudah itu untuk dapat dilihat orang
lain kecuali si pemilik lontar. Di Bali lontar - lontar suci dipasupati dan
dibaca pada hari - hari tertentu.
Eksistensi nyurat aksara di lontar, masih
dapat diamati pada kegiatan belajar nyurat aksara di tingkat sekolahan, melalu
lomba - lomba nyurat aksara yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra,
instansi pemerintahan (Dinas Kebudayaan, Balai Bahasa), serta melalui PORSENIJAR/PSR
.
Mungkin jika tidak
kegiatan belajar nyurat aksara di sekolah dan lomba - lomba, tidak akan ada
minat generasi muda di Bali untuk mempelajari nyurat aksara tersebut.
Padahal dalam kegiatan upacara keagamaan, keterampilan nyurat aksara
diperlukan.
Lalu bagaimana kita sebagai generasi muda menyikapi hal ini ?
Comments
Post a Comment
Terima Kasih sudah berkunjung ke Diah's Blog.
Silahkan berikan komentar dengan bahasa yang sopan dan tidak mengandung unsur SARA.